Minggu, 15 Juni 2008

PARADIGMA POLITIK ISLAM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA



Sebelum tahun 1965, khazanah pengetahuan Islam di Indonesia sering dipahami sebagai formulasi normatif, pemaknaan ajaran Islam secara tekstual dan tersurat banyak mendominasi pemikir dan aktivis pada periode ini, sehingga yang lahir pada masa itu adalah perkembangan pengetahuan Islam sebagai ideologi politik selain sebagai way of life. Sehingga dapat di rasakan bahwa perjuangan kelompok Islam ideologis yang dimotori oleh M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, dan Hamka cukup kuat menggoyang orde demokrasi terpimpin dibawah pemerintahan Soekarno dengan ideologi NASAKOM.[1] Maka jatuhnya Soekarno juga tak luput dari perjuangan gerakan islam ideologis ini yang selain menjadi oposisi juga melakukan perlawanan untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Melemahnya sistem perekonomian juga menjadi faktor utama atas lengsernya Soekarno, ditambah dengan bersatunya kalangan militer, kelompok fungsional, mahasiswa, pelajar dan organisasi sosial kemasyarakatan yang disudutkan di era rezim demokrasi terpimpin. Maka setelah kudeta 1965 lahirlah Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, Ia memandang perlu segera membangun Indonesia untuk menjadi Negara yang integral, bersatu dan maju, Ia melihat bahwa pertikaian atas Dasar Negara yang melelahkan tidak akan menjadikan bangsa ini maju, maka dibutuhkan persatuan dalam membangun Indonesia seperti yang diimpikannya. Setelah berkuasa cukup lama, maka dilancarkanlah ide Deideologisasi karena ideologi dianggap sebagai momok, biang kerok atau sumber masalah yang tak berkesudahan. Maka yang dimusuhi Soeharto adalah Islam sebagai Ideologi Politik bukan Islam sebagai agama. Dengan tumbangnya PKI maka satu-satunya yang mempunyai basis massa real tinggal Islam semata, demi melemahkan politik Islam dengan segenap upaya di lancarkanlah politik Deideologisasi sehingga slogan Pembangunan yes, Ideologi no kental menjadi proyek orde baru. Pada 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto dalam pidato tahunannya di depan DPR menegaskan bahwa “seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah pancasila”.[2] Sampai pada tahun 1985 di undangkan asas tunggal Pancasila, ini kemudian yang menjadi akhir ketegangan ideologi antara penyelenggara Negara vis a vis Masyarakat.

Setelah 32 tahun berkuasa Soeharto akhirnya lengser keprabon pada Mei 1998 setelah sebelumnya gedung DPR dikuasai oleh demonstran yang di motori mahasiswa, perjalanan panjang orde baru yang sentralistis, kaku, dan monopolistik membuat era transisi menjadi lebih ramai kembali wacana nation building. Tokoh-tokoh reformasi melontarkan gagasan-gagasan untuk mengotak-atik kembali dasar negara dan bentuk negara. Beberapa opsi dari membela Indonesia sebagai negara kesatuan dengan otonomi luas sampai menjadikan Indonesia sebagai negara federasi.

Pergulatan formalisasi syari’at Islam di Indonesia juga tak pernah padam, Prof. Dr. Masykuri Abdillah[3] melihat bahwa munculnya era reformasi melahirkan iklim kebebasan dalam mengekspresikan pendapat tanpa tuduhan tindakan subversi. Termasuk dalam hal ini adalah aspirasi umat Islam, baik dalam bentuk pendirian partai-partai politik maupun dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam sebagai hukum positif maupun pemberlakuan piagam Jakarta. Hal ini membawa akibat pada pembicaraan hukum Islam dalam konteks hukum nasional tidak sebatas pada teori-teori integrasi (eklektisme), tetapi juga pada aplikasi materi-materi hukum Islam yang dapat dijadikan sebagai hukum positif maupun diintegrasikan ke hukum nasional.

Orientasi keagamaan kadang membuat kita lupa keanekaragaman budaya, ideologi, suku dan bahasa. Indonesia tidak mungkin dibuat sekuler karena kenyataannya bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius yang yakin akan keimanan terhadap ajaran agama dan yakin bahwa agama berperan dalam kehidupan bernegara dan dengan sendirinya negara juga berperan dalam kehidupan agama. Tetapi di pihak lain Indonesia juga tidak mungkin dibuat teokratis (Islam) karena negara teokratis pada masa Rasulullah di Madinah tidak mungkin diterapkan di Indonesia baik dari sudut pandang corak masyarakat, ideologi, suku, wilayah, kepemimpinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Abdurrahman Wahid melihat ada kesamaan titik temu bahwa negara sekuler dan teokratis (Islam) tidak mungkin dilaksanakan di Indonesia karena itu harus ada ‘formula baru’ yang mempertautkan bangsa Indonesia dalam satu ideologi nasional, yang bisa menyatukan unsur-unsur ideologi yang beroperasi di Indonesia, dengan kata lain, Pancasila adalah ideologi nasional yang dimaksudkan untuk menyimpulkan ideologi besar dunia dalam pelaksanaannya di Indonesia.[4]

Pertanyaannya kemudian bagaimana bentuk final NKRI yang baku dan diterima semua pihak? Sementara arus pemikiran tentang ideologi nasional dan bentuk negara terus diperbincangkan seiring dengan perjalanan reformasi. Terbukti tidak semua platform partai politik berazaskan pancasila. Hal yang juga menarik untuk dikaji lebih dalam adalah bagaimana partai-partai politik merumuskan bentuk ideal negara Indonesia. Tentu buku ini diharapkan menemukan urgensinya ditengah guncangan ombak wacana perubahan konstitusi bergulir untuk kepentingan kelompok yang masih belum ‘legowo’ menerima pancasila sebagai ideologi nasional dan kesatuan sebagai bentuk final republik Indonesia.

Pembahasan ini akan dimulai dengan mengurai relasi politik antara Islam dan negara. Setidaknya ada tiga pandangan yang mengemuka, mau tahu selengkapnya miliki segera buku BENTUK FINAL NKRI

A. HELMY FAISHAL ZAINI

Anggota Komisi I DPR-RI


[1] Selengkapnya baca: Bung Karno dan Partai Politik (Jakarta: Grasindo, 2001) h. 103

[2] Lihat, Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985, h.11

[3] Prof. Dr. Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia, sebuah pergulatan yang tak pernah tuntas, (Jakarta: Renaisan, 2005) h. 318

[4] Abdurrahman Wahid, Mengurai hubungan agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999) h. 84

Tidak ada komentar: