Tulisan ini tidak berpretensi melihat faktor kalah atau menangnya kandidat, tetapi lebih mengarah ke sosok Obama yang terlahir dari keluarga yang ‘biasa-biasa saja’, dibesarkan dengan cara jauh dari kata mewah dan kini sosok itu menjadi ikon harapan bukan hanya oleh masyarakat Amerika tetapi juga seantero dunia. Kehadiran Obama dalam konstelasi pemilihan presiden Amerika setidaknya menjadi angin segar bagi setiap insan yang percaya bahwa demokrasi bukan hanya milik dinasti politik tetapi bisa menjadi jalan bagi siapapun yang punya ide brilian untuk mengusung perubahan yang konstruktif, sosoknya sebagai orang kulit hitam dan simbol minoritas tanpa diduga sekarang menjadi politisi besar yang sedang bergeliat menuju gedung putih.
Gempita Semu?
Masih segar dalam ingatan kita ketika dalam pemilu presiden tahun 2004 Bush junior unggul tipis dari pesaingnya dari Demokrat John Kerry, dalam beberapa hal pemilu 2008 memang berbeda dari sebelumnya, gegap gempita media seolah menyuguhkan kursi presiden hanya perebutan dari Obama dan Hillary mengingat merosotnya popularitas dan kekalahan Republik dalam pemilu dewan, kini setelah mantan ibu Negara itu tersingkir dua pertanyaan memerlukan jawaban yang sulit, pertama, masih besarkah peluang Obama untuk menduduki kursi presiden, kedua, perubahan seperti apa yang dicita-citakan, apakah berjuang untuk menggapai kursi presiden an sich, atau mengaplikasan nafas perubahan itu dalam skema kebijakan yang pro American people. Menjawab pertanyaan pertama, tentu segalanya bisa terjadi dalam peta kompetisi ini, dan selanjutnya masyarakat Amerika akan menentukan sebuah harapan yang ditunggu-tunggu apakah Obama akan kandas persis seperti kegagalan Kerry atau justru harapan itu menjadi nyata dengan munculnya ‘black presiden’ yang dalam pidatonya menyebutkan: “bahwa sebuah perubahan itu tidak bisa hanya kita percayakan pada orang-orang yang dianggap luar biasa, karena terbukti Amerika Serikat hari ini menjadi sebuah negeri yang paling dibenci akibat kebijakan-kebijakan buruknya, tetapi perubahan dapat dilakukan oleh orang-orang biasa, bahkan seperti saya sekalipun”. Slogan Change We Can Believe In bahkan telah menjadi sihir dasyat bagi upaya seorang yang dalam hidupnya ‘terjebak’ dalam multikulturalisme dan kemudian mampu keluar dari sekat-sekat sosial, budaya, dan politik melalui perjuangan panjang sebagai manusia biasa yang mendobrak kemapanan politik.
Pertanyaan kedua tentu lebih dalam harus dijabarkan dalam kampanye pra pemilu, perubahan apa yang ingin dicapai oleh sang kandidat, skema kebijakan anti perang, pengelolaan pajak yang transparan, ekonomi politik migas yang berkeadilan, pengelolaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat atau hanya retorika seperti yang diungkapkan pepatah Italia: “Si cambia il maestro di capella, ma la musica e sempre quella” (dirigen boleh berganti, namun musik tetep sama) perubahan harusnya menjadi motor yang mampu menggerakkan sektor inti dari pemerintahan dan bukan hanya retorika saja. Pergantian kepemimpinan seharusnya juga mengubah cara pandang, sikap, prilaku, dan kebijakan yang tidak lagi menindas.
Menanti Perubahan
Jika boleh berandai-andai Obama memenangkan pemilu dan menjadi presiden Amerika menggantikan George W Bush setidaknya ada tiga hal yang akan berubah dari negara yang bertahun-tahun menjadi polisi dunia dengan ribuan ungkapan antagonis dari setiap telinga penduduk bumi yang mendengar kata-kata Amerika. Pertama, posisi internal democrat diuntungkan persepsi masyarakat dunia tentang Amerika sebagai negara yang dikuasai oleh dinasti politik akan runtuh ketika Obama naik menjadi presiden berbeda jauh ketika yang jadi adalah Hillary maka Amerika akan dipimpin oleh dua keluarga dalam dua dekade yaitu Bush, Clinton, Bush, Clinton, bertahun-tahun kursi presiden Amerika hampir tak meninggalkan jejak dari penguasaan dinasti politik yang menguasai gedung putih termasuk dalam hal ini isu ras, agama, suku, dan golongan. Kedua, ideologi anti perang yang diusung Obama semakin memantapkan langkah maju Amerika untuk menjadi poros kemanusiaan, berbeda dengan Mc Cain, yang mempertahanankan aksi pendudukan di Irak, Obama justru mengumandangkan ideologi anti perang dan apapun yang berbau kekerasan. Tentu langkah ini sebangun dengan cita-cita masyarakat Amerika (majority) dan penduduk dunia untuk mempertahanankan perdamaian abadi. Banyak hal yang akan terkikis dengan sendirinya dari apa yang dikategorikan sebagai fundamentalisme, radikalisme dan terorisme jika kesejahteraan sosial menjadi tolok ukur kemandirian suatu bangsa dan dapat mengalir ke penjuru dunia dari negara adidaya (superpower) dalam konteks pendekatan militer menjadi negara yang sungguh-sungguh memperjuangkan pengentasan kemiskinan sedunia. Saya teringat suatu ketika saya pernah bertanya pada senator amerika Jims Dormurt dan dibenarkan oleh Louis Cape kalau selama ini APBN amerika setengahnya adalah untuk pertahanan dan setengah dari anggaran pertahanan itu untuk perang, maka jalan baru yang diretas Obama tentu sangat besar artinya bagi era kebangkitan kaum proletarian melalui aspek pemberdayaan. Ketiga, Dengan munculnya Obama dipanggung presiden, akan muncul demokrasi dengan wajah baru, latar belakang Obama yang tidak ningrat berbeda dengan Bush, Mc Cain, Huckabee dan Hillary yang dibesarkan oleh keluarga yang sudah mapan politik. Ciri khas kesederhanaan inilah yang sekaligus menjadi kekuatan bagi Obama untuk dapat diterima oleh kalangan berlatar belakang apapun.
Obama yang kini menjadi simbol people power masih akan diuji oleh waktu, mampukah membawa dirinya dan Amerika menjadi Negara teladan yang tidak lagi menjadikan kekuasaan sebagai pintu masuk arogansi dan pemenuhan syahwat-syahwat politik tetapi dengan kesadaran ikut menjadi seorang demokrat yang mengabdikan diri untuk kemakmuran dunia.
· Penulis adalah Anggota Komisi I DPR RI dan
Wasekjen DPP PKB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar