Kamis, 26 Juni 2008

HELMY FAISHAL: Tak Seorangpun...


TAK SEORANGPUN TAHU BETAPA SULITNYA BERJUANG DI BAWAH BENDERA KEBENARAN, TAK SEORANGPUN MENGERTI BETAPA PAHITNYA HIDUP BERADA DALAM KETERTINDASAN, TAK SEORANGPUN PAHAM MAKNA HAKIKI DARI SEBUAH JALAN HIDUP KECUALI ORANG-ORANG YANG MENGIKHLASKAN DIRINYA UNTUK BERKORBAN PADA KEBAHAGIAAN ORANG LAIN. BERJUANGLAH PEMUDA INDONESIA...

Selasa, 24 Juni 2008

MENGABDI DAN BERJUANG


MARI AKHIRI PERBEDAAN, SEGERA BERSATU PADU MENGGAPAI KEMENANGAN BERSAMA. KEMENANGAN YANG LAHIR DARI HATI UNTUK PERUBAHAN YANG DIIDAMKAN, KEMENANGAN UNTUK MENGABDI DAN BERJUANG UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT, UNTUK SEBUAH CITA-CITA KOLEKTIF: BERSATU, BERDAULAT, ADIL, DAN MAKMUR
BERSATULAH SAUDARAKU BANGKITLAH INDONESIAKU....

Kamis, 19 Juni 2008

BANGSA MENUNGGU PKB BERSATU


Konflik yang melanda Partai Kebangkitan Bangsa memasuki babak “semi final”, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan A. Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum dan Lukman Edy sebagai Sekretaris Jenderal dengan sendirinya kini komposisi struktur kepengurusan DPP PKB kembali ke pangkuan cak imin dan LE, meski upaya hukum terakhir di Mahkamah Agung melalui kasasi sedang diajukan oleh kelompok yang belum puas, alangkah indahnya jika momen ini dijadikan sebagai ajang rekonsiliasi (ruju’ ilal haq) tentu butuh upaya sungguh-sungguh berbuat lebih banyak untuk kebesaran partai dan menjadi garda terdepan kebangkitan bangsa. Indonesia sedang menunggu kebesaran jiwa intelektual PKB untuk kembali ke niat awal kemerdekaan Indonesia yang mengorbankan keringat, airmata, tetesan darah bahkan nyawa. Kini waktu jua yang akan melihat dan membuktikan sikap tulus kita untuk menanggalkan sekat-sekat kepentingan individu dan kelompok untuk kembali ke medan juang.

Bersatulah Partaiku, Bangkitlah Bangsaku…

Senin, 16 Juni 2008

OBAMA DAN PARADIGMA PERUBAHAN

Hampir semua mata dunia kini tersihir oleh kehadiran sosok baru yang menjadi legenda pemilu Amerika, setelah bertarung habis-habisan dengan Hillary Rodham Clinton, kini Barack Husein Obama resmi menjadi kandidat partai demokrat. Sosoknya yang sederhana, bahkan berasal dari komunitas minor kulit hitam, menjadi ikon perubahan. Meski sistem dan cara perubahan yang diusung belum cukup jelas tetapi semboyan change tersemat dalam diri pemuda yang masa kecilnya dihabiskan di Jakarta tersebut. Kini ia harus rela berhadap-hadapan dengan calon presiden dari partai republik yang jauh lebih ‘sepuh’ (untuk tidak mengatakan senior) darinya, John Mc. Cain.

Tulisan ini tidak berpretensi melihat faktor kalah atau menangnya kandidat, tetapi lebih mengarah ke sosok Obama yang terlahir dari keluarga yang ‘biasa-biasa saja’, dibesarkan dengan cara jauh dari kata mewah dan kini sosok itu menjadi ikon harapan bukan hanya oleh masyarakat Amerika tetapi juga seantero dunia. Kehadiran Obama dalam konstelasi pemilihan presiden Amerika setidaknya menjadi angin segar bagi setiap insan yang percaya bahwa demokrasi bukan hanya milik dinasti politik tetapi bisa menjadi jalan bagi siapapun yang punya ide brilian untuk mengusung perubahan yang konstruktif, sosoknya sebagai orang kulit hitam dan simbol minoritas tanpa diduga sekarang menjadi politisi besar yang sedang bergeliat menuju gedung putih.

Gempita Semu?

Masih segar dalam ingatan kita ketika dalam pemilu presiden tahun 2004 Bush junior unggul tipis dari pesaingnya dari Demokrat John Kerry, dalam beberapa hal pemilu 2008 memang berbeda dari sebelumnya, gegap gempita media seolah menyuguhkan kursi presiden hanya perebutan dari Obama dan Hillary mengingat merosotnya popularitas dan kekalahan Republik dalam pemilu dewan, kini setelah mantan ibu Negara itu tersingkir dua pertanyaan memerlukan jawaban yang sulit, pertama, masih besarkah peluang Obama untuk menduduki kursi presiden, kedua, perubahan seperti apa yang dicita-citakan, apakah berjuang untuk menggapai kursi presiden an sich, atau mengaplikasan nafas perubahan itu dalam skema kebijakan yang pro American people. Menjawab pertanyaan pertama, tentu segalanya bisa terjadi dalam peta kompetisi ini, dan selanjutnya masyarakat Amerika akan menentukan sebuah harapan yang ditunggu-tunggu apakah Obama akan kandas persis seperti kegagalan Kerry atau justru harapan itu menjadi nyata dengan munculnya ‘black presiden’ yang dalam pidatonya menyebutkan: “bahwa sebuah perubahan itu tidak bisa hanya kita percayakan pada orang-orang yang dianggap luar biasa, karena terbukti Amerika Serikat hari ini menjadi sebuah negeri yang paling dibenci akibat kebijakan-kebijakan buruknya, tetapi perubahan dapat dilakukan oleh orang-orang biasa, bahkan seperti saya sekalipun”. Slogan Change We Can Believe In bahkan telah menjadi sihir dasyat bagi upaya seorang yang dalam hidupnya ‘terjebak’ dalam multikulturalisme dan kemudian mampu keluar dari sekat-sekat sosial, budaya, dan politik melalui perjuangan panjang sebagai manusia biasa yang mendobrak kemapanan politik.

Pertanyaan kedua tentu lebih dalam harus dijabarkan dalam kampanye pra pemilu, perubahan apa yang ingin dicapai oleh sang kandidat, skema kebijakan anti perang, pengelolaan pajak yang transparan, ekonomi politik migas yang berkeadilan, pengelolaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat atau hanya retorika seperti yang diungkapkan pepatah Italia: “Si cambia il maestro di capella, ma la musica e sempre quella” (dirigen boleh berganti, namun musik tetep sama) perubahan harusnya menjadi motor yang mampu menggerakkan sektor inti dari pemerintahan dan bukan hanya retorika saja. Pergantian kepemimpinan seharusnya juga mengubah cara pandang, sikap, prilaku, dan kebijakan yang tidak lagi menindas.

Menanti Perubahan

Jika boleh berandai-andai Obama memenangkan pemilu dan menjadi presiden Amerika menggantikan George W Bush setidaknya ada tiga hal yang akan berubah dari negara yang bertahun-tahun menjadi polisi dunia dengan ribuan ungkapan antagonis dari setiap telinga penduduk bumi yang mendengar kata-kata Amerika. Pertama, posisi internal democrat diuntungkan persepsi masyarakat dunia tentang Amerika sebagai negara yang dikuasai oleh dinasti politik akan runtuh ketika Obama naik menjadi presiden berbeda jauh ketika yang jadi adalah Hillary maka Amerika akan dipimpin oleh dua keluarga dalam dua dekade yaitu Bush, Clinton, Bush, Clinton, bertahun-tahun kursi presiden Amerika hampir tak meninggalkan jejak dari penguasaan dinasti politik yang menguasai gedung putih termasuk dalam hal ini isu ras, agama, suku, dan golongan. Kedua, ideologi anti perang yang diusung Obama semakin memantapkan langkah maju Amerika untuk menjadi poros kemanusiaan, berbeda dengan Mc Cain, yang mempertahanankan aksi pendudukan di Irak, Obama justru mengumandangkan ideologi anti perang dan apapun yang berbau kekerasan. Tentu langkah ini sebangun dengan cita-cita masyarakat Amerika (majority) dan penduduk dunia untuk mempertahanankan perdamaian abadi. Banyak hal yang akan terkikis dengan sendirinya dari apa yang dikategorikan sebagai fundamentalisme, radikalisme dan terorisme jika kesejahteraan sosial menjadi tolok ukur kemandirian suatu bangsa dan dapat mengalir ke penjuru dunia dari negara adidaya (superpower) dalam konteks pendekatan militer menjadi negara yang sungguh-sungguh memperjuangkan pengentasan kemiskinan sedunia. Saya teringat suatu ketika saya pernah bertanya pada senator amerika Jims Dormurt dan dibenarkan oleh Louis Cape kalau selama ini APBN amerika setengahnya adalah untuk pertahanan dan setengah dari anggaran pertahanan itu untuk perang, maka jalan baru yang diretas Obama tentu sangat besar artinya bagi era kebangkitan kaum proletarian melalui aspek pemberdayaan. Ketiga, Dengan munculnya Obama dipanggung presiden, akan muncul demokrasi dengan wajah baru, latar belakang Obama yang tidak ningrat berbeda dengan Bush, Mc Cain, Huckabee dan Hillary yang dibesarkan oleh keluarga yang sudah mapan politik. Ciri khas kesederhanaan inilah yang sekaligus menjadi kekuatan bagi Obama untuk dapat diterima oleh kalangan berlatar belakang apapun.

Obama yang kini menjadi simbol people power masih akan diuji oleh waktu, mampukah membawa dirinya dan Amerika menjadi Negara teladan yang tidak lagi menjadikan kekuasaan sebagai pintu masuk arogansi dan pemenuhan syahwat-syahwat politik tetapi dengan kesadaran ikut menjadi seorang demokrat yang mengabdikan diri untuk kemakmuran dunia.

· Penulis adalah Anggota Komisi I DPR RI dan

Wasekjen DPP PKB

Minggu, 15 Juni 2008

PARADIGMA POLITIK ISLAM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA



Sebelum tahun 1965, khazanah pengetahuan Islam di Indonesia sering dipahami sebagai formulasi normatif, pemaknaan ajaran Islam secara tekstual dan tersurat banyak mendominasi pemikir dan aktivis pada periode ini, sehingga yang lahir pada masa itu adalah perkembangan pengetahuan Islam sebagai ideologi politik selain sebagai way of life. Sehingga dapat di rasakan bahwa perjuangan kelompok Islam ideologis yang dimotori oleh M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, dan Hamka cukup kuat menggoyang orde demokrasi terpimpin dibawah pemerintahan Soekarno dengan ideologi NASAKOM.[1] Maka jatuhnya Soekarno juga tak luput dari perjuangan gerakan islam ideologis ini yang selain menjadi oposisi juga melakukan perlawanan untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Melemahnya sistem perekonomian juga menjadi faktor utama atas lengsernya Soekarno, ditambah dengan bersatunya kalangan militer, kelompok fungsional, mahasiswa, pelajar dan organisasi sosial kemasyarakatan yang disudutkan di era rezim demokrasi terpimpin. Maka setelah kudeta 1965 lahirlah Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, Ia memandang perlu segera membangun Indonesia untuk menjadi Negara yang integral, bersatu dan maju, Ia melihat bahwa pertikaian atas Dasar Negara yang melelahkan tidak akan menjadikan bangsa ini maju, maka dibutuhkan persatuan dalam membangun Indonesia seperti yang diimpikannya. Setelah berkuasa cukup lama, maka dilancarkanlah ide Deideologisasi karena ideologi dianggap sebagai momok, biang kerok atau sumber masalah yang tak berkesudahan. Maka yang dimusuhi Soeharto adalah Islam sebagai Ideologi Politik bukan Islam sebagai agama. Dengan tumbangnya PKI maka satu-satunya yang mempunyai basis massa real tinggal Islam semata, demi melemahkan politik Islam dengan segenap upaya di lancarkanlah politik Deideologisasi sehingga slogan Pembangunan yes, Ideologi no kental menjadi proyek orde baru. Pada 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto dalam pidato tahunannya di depan DPR menegaskan bahwa “seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah pancasila”.[2] Sampai pada tahun 1985 di undangkan asas tunggal Pancasila, ini kemudian yang menjadi akhir ketegangan ideologi antara penyelenggara Negara vis a vis Masyarakat.

Setelah 32 tahun berkuasa Soeharto akhirnya lengser keprabon pada Mei 1998 setelah sebelumnya gedung DPR dikuasai oleh demonstran yang di motori mahasiswa, perjalanan panjang orde baru yang sentralistis, kaku, dan monopolistik membuat era transisi menjadi lebih ramai kembali wacana nation building. Tokoh-tokoh reformasi melontarkan gagasan-gagasan untuk mengotak-atik kembali dasar negara dan bentuk negara. Beberapa opsi dari membela Indonesia sebagai negara kesatuan dengan otonomi luas sampai menjadikan Indonesia sebagai negara federasi.

Pergulatan formalisasi syari’at Islam di Indonesia juga tak pernah padam, Prof. Dr. Masykuri Abdillah[3] melihat bahwa munculnya era reformasi melahirkan iklim kebebasan dalam mengekspresikan pendapat tanpa tuduhan tindakan subversi. Termasuk dalam hal ini adalah aspirasi umat Islam, baik dalam bentuk pendirian partai-partai politik maupun dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam sebagai hukum positif maupun pemberlakuan piagam Jakarta. Hal ini membawa akibat pada pembicaraan hukum Islam dalam konteks hukum nasional tidak sebatas pada teori-teori integrasi (eklektisme), tetapi juga pada aplikasi materi-materi hukum Islam yang dapat dijadikan sebagai hukum positif maupun diintegrasikan ke hukum nasional.

Orientasi keagamaan kadang membuat kita lupa keanekaragaman budaya, ideologi, suku dan bahasa. Indonesia tidak mungkin dibuat sekuler karena kenyataannya bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius yang yakin akan keimanan terhadap ajaran agama dan yakin bahwa agama berperan dalam kehidupan bernegara dan dengan sendirinya negara juga berperan dalam kehidupan agama. Tetapi di pihak lain Indonesia juga tidak mungkin dibuat teokratis (Islam) karena negara teokratis pada masa Rasulullah di Madinah tidak mungkin diterapkan di Indonesia baik dari sudut pandang corak masyarakat, ideologi, suku, wilayah, kepemimpinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Abdurrahman Wahid melihat ada kesamaan titik temu bahwa negara sekuler dan teokratis (Islam) tidak mungkin dilaksanakan di Indonesia karena itu harus ada ‘formula baru’ yang mempertautkan bangsa Indonesia dalam satu ideologi nasional, yang bisa menyatukan unsur-unsur ideologi yang beroperasi di Indonesia, dengan kata lain, Pancasila adalah ideologi nasional yang dimaksudkan untuk menyimpulkan ideologi besar dunia dalam pelaksanaannya di Indonesia.[4]

Pertanyaannya kemudian bagaimana bentuk final NKRI yang baku dan diterima semua pihak? Sementara arus pemikiran tentang ideologi nasional dan bentuk negara terus diperbincangkan seiring dengan perjalanan reformasi. Terbukti tidak semua platform partai politik berazaskan pancasila. Hal yang juga menarik untuk dikaji lebih dalam adalah bagaimana partai-partai politik merumuskan bentuk ideal negara Indonesia. Tentu buku ini diharapkan menemukan urgensinya ditengah guncangan ombak wacana perubahan konstitusi bergulir untuk kepentingan kelompok yang masih belum ‘legowo’ menerima pancasila sebagai ideologi nasional dan kesatuan sebagai bentuk final republik Indonesia.

Pembahasan ini akan dimulai dengan mengurai relasi politik antara Islam dan negara. Setidaknya ada tiga pandangan yang mengemuka, mau tahu selengkapnya miliki segera buku BENTUK FINAL NKRI

A. HELMY FAISHAL ZAINI

Anggota Komisi I DPR-RI


[1] Selengkapnya baca: Bung Karno dan Partai Politik (Jakarta: Grasindo, 2001) h. 103

[2] Lihat, Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985, h.11

[3] Prof. Dr. Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia, sebuah pergulatan yang tak pernah tuntas, (Jakarta: Renaisan, 2005) h. 318

[4] Abdurrahman Wahid, Mengurai hubungan agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999) h. 84